image source : sinomwidodo.blogspot.co.id |
Latar
Belakang
R. Harya
suwangsa yang juga dikenal dengan nama Ki Ageng Wot Sinom, bagi warga
Sinomwidodo sebelum tahun 2000-an lebih dikenal dengan sebutan Simbah Ndoro
Sinder. Karena memang demikian cerita yang diterima secara lisan dan turun temurun
dari para pendahulu mereka.
Hampir dua
dasawarsa terakhir (sejak tahun 1997), sedikit demi sedikit cerita, keterangan
dan pandangan tentang R. Harya Suwangsa ini mulai terungkap dan semakin terang.
Proses ini diakui mengalir secara alami dan semakin menguat tahun demi tahun.
Karenanya, beberapa tokoh merasa penting dan terpanggil untuk menghimpun
berbagai cerita yang tercecer menjadi satu cerita besar yang saling menguatkan.
Tujuannya tidak lain adalah :
1)
Mengenal lebih dekat tentang silsilah,
peran dan peninggalan R. Harya Suwangsa sebagai leluhur warga Desa Sinomwidodo.
2)
Menguatkan bentuk penghormatan yang benar
dan layak kepada beliau sebagai tokoh pendahulu yang dilakukan dalam bentuk
Peringatan Haul setiap tahunnya.
3)
Merangkai berbagai cerita lisan yang
didukung oleh beberapa referensi tertulis menjadi bentuk tulisan sejarah yang
utuh dan mudah diwariskan kepada generasi mendatang.
RADEN HARYA
SUWANGSA
Silsilah dan
Keturunan
R. Harya
Suwangsa adalah putra Raja Majapahit Prabu Kertabumi yang bergelar Brawijaya V,
dia putra yang ke-30 dari seluruh putra-putrinya. Seluruh putra putri Raja
Brawijaya ke V ada 117 atau 115 orang dari 40 istri.
Semua
putra-putri Brawijaya ke V menyebar ke seluruh Nusantara, namun kebanyakan
berada dan menjadi penguasa di wilayah Tanah Jawa, termasuk R. Harya Suwangsa.
Salah satu putra yang ke-13 dari Brawijaya ke V adalah R. Hasan pendiri
kerajaan Bintoro Demak bersama Walisongo, yang bergelar Maulana Akbar Sayidin Panotogomo
Sultan Fatah. Dengan demikian, R.Harya Suwangsa adalah saudara R. Hasan (R.
Fattah), namun berbeda ibu. Dia termasuk keturunan Majapahit yang beragama
Islam dan menda’wahkannya di sekitar Kedu (Temanggung) dan Galinggang –
Sinomwidodo (Pati). Bahkan sepeninggalnya di Kedu, dia dimakamkan di Dukuh
Gelinggang – Desa Sinomwidodo, Tambakromo, Pati (menurut Drs. R. Sudaryanto,
M.Si, salah satu keturunannya garis yang ke-13).
R. Harya
Suwangsa yang disebut juga R. Jaka Hantar, Kyai Ageng Wot Sinom, Simbah Ndoro
Sinder, diterangkan “ingkang mertapa wonten ing wit Galinggang asem, lajeng
katelah Kyai Ageng Wotsinom ing Kedu ” (Dia melakukan laku bertapa / riyadhoh,
di pohon asem yang berada di Dukuh Glinggang Desa Sinomwidodo, berdiam di Kedu
(Temanggung). Jadi, R. Harya Suwangsa memang menetap di wilayah Kedu, namun
sepeninggalnya atau jelang tutup usianya berada (maqom, mertapa) di Dukuh
Galinggang. Dia memiliki tiga putra, yakni :
·
Kyai Ageng / Nyai Ageng Seleseh
yangg makamnya di Gunung Indrakila – Malebo Temanggung.
·
Kyai Ageng Selomanik yang makamnya
ada di Daratan tinggi Dieng Wonosobo.
·
Putra yang ketiga belum di ketahui
nama dan makamnya.
Menurut salah
satu sumber yang ditulis Jrink Hetfield (Sejarawan Belanda), R. Harya Suwangsa
hanya memiliki dua putra, yaitu : Kyai Ageng Selesih dan Kyai Ageng Selomanik.
Dari putra yang pertama inilah diketahui garis keturunnya hingga yang sekarang yaitu R. Edy Darmono dan Drs. H. R. Sudaryanto, M.Si (Seorang Pejabat di Setda Provinsi Jawa Tengah). Adapun garis keturunan R. Harya Suwangsa hingga sekarang sesuai surat dari Tepas Darah Dalem Kraton Ngayogyokarto adalah sebagai berikut :
Dari putra yang pertama inilah diketahui garis keturunnya hingga yang sekarang yaitu R. Edy Darmono dan Drs. H. R. Sudaryanto, M.Si (Seorang Pejabat di Setda Provinsi Jawa Tengah). Adapun garis keturunan R. Harya Suwangsa hingga sekarang sesuai surat dari Tepas Darah Dalem Kraton Ngayogyokarto adalah sebagai berikut :
1. Prabu Brawijaya ke V, Prabu
Kertabhumi,
2. R. Jaka Hantar, R. Harya Suwangsa, Kyai Ageng Wot Sinom,
3. Kyai Ageng Sleseh, makamnya di Gunung Indrakila, Malebo, Kandangan, Temanggung.
4. Kyai Ageng Samak,
5. Kyai Ageng Citragati (Panembahan Sarasah),
6. Kyai Somogati (Kyai Ageng Kalinangka),
7. Nyai Ageng Lempuyang,
8. Kyai Ageng Wangsa Manggala I (Kyai Ageng Taya Juma), R. Adipati Sindureja.
9. Kyai Ageng Wangsa Manggala II,
10. Kyai Ageng Wangsa Manggala III,
11. Kyai Wangsadikrama, makamnya di Kalibanger.
12. Rr. Nganten Hudawijaya (Rara Sumirah),
13. Rr. Nganten Atmahudaya (Rara Mubadiyah),
14. Drs. R. Sudaryanto, M.Si. dan R. Edy Darmono.
2. R. Jaka Hantar, R. Harya Suwangsa, Kyai Ageng Wot Sinom,
3. Kyai Ageng Sleseh, makamnya di Gunung Indrakila, Malebo, Kandangan, Temanggung.
4. Kyai Ageng Samak,
5. Kyai Ageng Citragati (Panembahan Sarasah),
6. Kyai Somogati (Kyai Ageng Kalinangka),
7. Nyai Ageng Lempuyang,
8. Kyai Ageng Wangsa Manggala I (Kyai Ageng Taya Juma), R. Adipati Sindureja.
9. Kyai Ageng Wangsa Manggala II,
10. Kyai Ageng Wangsa Manggala III,
11. Kyai Wangsadikrama, makamnya di Kalibanger.
12. Rr. Nganten Hudawijaya (Rara Sumirah),
13. Rr. Nganten Atmahudaya (Rara Mubadiyah),
14. Drs. R. Sudaryanto, M.Si. dan R. Edy Darmono.
Kedua Putra
Raden Harya Suwangsa, yakni Kyai Ageng Seleseh dan Kyai Ageng Selomanik dikenal
menjadi ulama (tokoh agama) di wilayah Temanggung dan Wonosobo. Dia juga
menurunkan seorang adipati di wilayah Mataram yaitu R. Adipati Sindureja, yang
dijuluki Kyai Ageng Wangsa Manggala I atau Kyai Ageng Taya Juma.
Sang Adipati Kyai Ageng Wangsa Manggala I ini memiliki putra Kyai Ageng Wangsa Manggala II yang makamnya ada di dekat kawasan Makam Sunan Muria di Gunung Muria Kabupaten Kudus.
Sang Adipati Kyai Ageng Wangsa Manggala I ini memiliki putra Kyai Ageng Wangsa Manggala II yang makamnya ada di dekat kawasan Makam Sunan Muria di Gunung Muria Kabupaten Kudus.
Dalam rangka mencari
lokasi yang akan dijadikan pusat Kraton Mataram Kasunanan, maka Paku Buwana II
menunjuk beberapa orang narapraja diantaranya: Tumenggung Honggowongso, Adipati
Pringgoloyo, Adipati Sindurejo, Tumenggung Mangkuyudo, Tumenggung Pusponegoro,
Ngabei Yosodipuro, Mayoor Hogengdarp, yang kemudian ditambah dengan Pangeran
Wijil, Tumenggung Tirtiwigunio, Kyai Kalifah Buyut dan Penggulu Fekih Ibrahim,
untuk mencari tempat yang akan dijadikan sebagai pusat pemeritahan kerajaan.
(MH. Ainun Nadjib).
Sebagai putra Sinuhun
Prabu Brawijaya ke V, R. Harya Suwangsa memiliki hubungan dekat dengan beberapa
tokoh besar sekitar wilayah Pati, antara lain :
1)
Saudara beda ibu dengan R. Djoko Probo
atau R. Hasan atau R. Yusuf atau Pangeran Djimbun atau R. Fattah Adipati Demak.
Dia menjadi sultan yang pertama di Bintoro Demak dengan gelar Sultan Syah 'Alam
Akbar Sirrulloh Kholifatur Rosul Amirul Mukminin Tajjuddin Ngabdul Chamid Al
Fattah. Disebut juga Sultan Adil Suryongalam di Kasultanan Bintoro Demak.
2)
Saudara beda ibu dengan R. Djoko Bondan
Kejawan yang ketika kecil diasuh oleh Kyai Buyut Musyakar di Pati yang disebut
Kyai Juru Sawah. Setelah dia dewasa kemudian ikut Kyai Ageng Tarub I, yaitu
Sayyid Nur Rohmat Raden Kidang Telangkas. R. Djoko Bondan Kejawan lalu ganti
nama R. Lembu Peteng dan dinikahkan dengan Putri Kyai Ageng Tarub I, bernama
Retno Nawangsih. Sepeninggal mertuanya itu, R. Bondan Kejawan menggantikan
kedudukannya dengan gelar Kyai Ageng Tarub II. R. Bondan Kejawan ini yang
selanjutnya menurunkan para raja di Mataram (Islam).
3)
Sebagai paman dari Rara Kasihan yang
setelah menikah mendapat gelar Nyai Ageng Ngerang, makamnya di Dukuh Ngerang
Desa Tambakromo Kabupaten Pati. Sebab Rara Kasihan adalah salah satu dari 3
orang putra R. Bondan Kejawan atau Kyai Ageng Tarub I. Dua putra lainnya itu :
R. Abdullah yang berada di Wonosobo dan R.Abdullah yang berada di Getaspandowo.
Jejak Peninggalan
Di Dukuh
Glinggang Desa Sinomwidodo, Tambakromo, Pati ada beberapa peninggalan R. Harya
Suwangsa, yaitu :
1. Wit Asem
Sebagai Maqom/Pertapan
Di Dukuh
Glinggang Desa Sinomwidodo terdapat pohon asam besar (yang diperkirakan usianya
ratusan tahun), diakui sebagai pusat cikal bakal Desa Sinomwidodo. Tempat
inilah salah satu bukti adanya maqom atau makam atau pertapan (tempat bertapa
atau riyadhoh). Beberapa warga yang berziarah di sini, baik dari warga setempat
maupun lainnya, menemukan keistimewaan (keramat).
Raden Harya
Suwangsa yang juga disebut Kyai Ageng Wot Sinom, bertapa (riyadhoh, olah batin)
di “Galenggang asem” atau pohon asem. Beliau bertafakur mendekatkan diri kepada
Yang Maha Kuasa Allah SWT dengan berdzikir mencari petunjuk demi kebaikan untuk
keluarga dan utamanya masyarakat atau wilayah yang menjadi wewengkon
(pangkuannya) pada zaman itu. Menurut beberapa cerita pengalaman pribadi para
peziarah, barokah atau keistimewaan R. Harya Suwangsa masih dirasakan hingga
sekarang.
2. Sumur tua
“Brumbung”.
Menurut
penuturan R. Sudaryanto, salah satu kelebihan R. Harya Suwangsa adalah seorang
petani yang ulung. Ada bukti lain peninggalan beliau, yaitu adanya tempat
pengambilan air untuk tanam menanam (pertanian) atau bersuci (berwudhu) yaitu
berupa sumur tua yang saat ini posisinya berada di sebelah barat Dukuh
Glinggang, yakni di tanah bengkok desa (bengkok Kepala Desa Sinomwidodo).
Sumur ini oleh
beberapa tokoh warga Dukuh Glinggang Desa Sinomwidodo dinamakan “Sumur Selare
Ageng” atau “Sumur Brumbung”. Jaraknya dari maqom/makam / pertapan sekitar 200
m ke barat laut. Saat ini sumur digunakan sebagai tempat pengambilan air bersih
kebutuhan rumah tangga oleh beberapa warga Dukuh Glinggang.
Di sumur ini,
juga ada beberapa ritual dilakukan oleh warga, terutama ketika memiliki hajat
tertentu, seperti upacara “memohon hujan” ketika musim kemarau panjang. Dengan
wasilah (perantara) air sumur Brumbung, beberapa orang memanjatkan berbagai
do’a kepada Allah SWT untuk suatu hajat pribadi atau lainnya seperti pemecahan
problem pekerjaan yang sulit, penyembuhan penyakit (kesehatan), keberuntungan
dalam meraih cita-cita (kenaikan jabatan atau perlombaan), dan lain-lain.
3. Nama Desa
“Glinggang – Sinomwidodo”
Raden Harya
Suwangsa juga di sebut Kyai Ageng Wot Sinom, yang bertapa di “Galenggang asem”
(pohon asam). Dengan demikian Nama Desa Sinomwidodo berasal dari ungkapan “Wot
Sinom”. Sinom adalah sebutan dari tunas muda pohon asam. Sinomwidodo juga
disebut “Semligi” dari “asem legi” (buah asam yang rasanya manis), karena konon
salah satu cabang pohon asam itu ada yang berbuah dan rasanya manis.
Adapun nama
Dukuh Glinggang berasal dari “Galenggang asem”, pertapan R. Harya Suwangsa.
Karenanya, Raden Harya Suwangsa diyakini sebagai cikal bakal (leluhur) Desa
Sinomwidodo yang oleh warga setempat lebih dikenal dengan nama “Simbah Ndoro
Sinder”.
Sinder merupakan
jabatan pemangku wilayah yang dikenal pada jaman penjajahan Belanda. Sinder itu
nama sebuah jabatan yang dikenal dan sering disebut hingga sekarang di
lingkungan lembaga peninggalan Belanda baik di sektor Kehutanan maupun
Perkebunan. Sinder itu jabatan di atas mantri dan mandor, sehingga wilayah kerjanya
lebih luas, membawahi beberapa mantri. Dan mantri sendiri membawahi beberapa
mandor.
Keistimewaan
Keistimewaan
Ada berbagai
cerita yang dirasakan, dialami dan diyakini beberapa warga sebagai kejadian
atau pengalaman pribadi yang berhubungan dengan keistimewaan R. Harya Suwangsa.
Dari kesaksian dan pengakuan yang dihimpun dari warga dan para peziarah, cerita
atau informasi kelebihan dan keistimewaan R. Harya Suwangsa tergambar sebagai
berikut :
a) Ustadz Hartoyo dari Desa Tambahagung -
Tambakromo, menceritakan dan merasakan bahwa suatu ketika dia mau mengisi
(berdakwah) pada pengajian Selapanan di Masjid Dukuh Glinggang – Sinomwidodo
yang berada di samping maqom R. Harya Suwangsa, dia merasa (dirinya antara
sadar dan tidak sadar) dijemput dengan kereta kencana berkuda menuju pengajian
tersebut.
b) Hamim (warga Glinggang), bercerita bahwa
ketika merantau di tambang emas (di luar Jawa), dia pernah terkena razia
petugas keamanan, dia pun lari beberapa hari masuk ke dalam hutan belantara
dalam keadaan kebingungan, dia tidak tahu arah lagi yang harus dituju. Lalu
sejenak dia berdo’a dan berhadiah bacaan Surat Al-fatihah kepada Mbah Ndoro
Sinder (R. Harya Suwangsa). Tak lama kemudian, ternyata tiba-tiba dia merasa
dituntun (diarahkan) menuju keluar dari hutan belantara tersebut dengan
selamat.
c) Ada seorang penduduk asli dari
Kalimantan, yang memiliki usaha rumah makan (RM) di Kalimatan juga. Suatu saat
usahanya ada problem (permasalahan) dan usahanya hampir bangkrut. Namun, dia
diambilkan sesuatu barang (ranting pohon asam) dari Ngaseman oleh salah seorang
dari Dukuh Sebetan Desa Sinomwidodo. Atas ijin Allah, tidak lama kemudian
masalah usahanya tersebut ada solusi (jalan keluar), berjalan maju lagi. Pada
lain hari (suatu kesempatan) orang Kalimantan tersebut ketika bersilaturrohim
ke warga Sebetan (yang mengambilkan ranting pohon sebagai bentuk terima kasih
dan mempererat persahabatan), dia sekalian menyelenggarakan tasyakuran di
lokasi Ngaseman (Maqom. R. Harya Suwangsa) dan menceritakan pengalamannya ini.
d) Di Maqom ini selalu diadakan kegiatan
jama’ah rutin yakni setiap malam Jum’at Kliwon dengan membaca Sholawat Burdah.
Suatu ketika diselenggarakan amalan pembacaan Sholawat Burdah (pada malam
Jum’at Kliwon), ada seseorang anggota jama’ah yang melihat nur (cahaya)
tertentu mengenai / memancar ke badan anggota jama’ah lainnya yang ikut hadir
di acara tersebut. Kejadian ini dilihat oleh beberapa anggota jama’ah dan tidak
hanya sekali terjadi.
e) Seorang anak kecil, cucu Bapak Jamari
(guru) dari Desa Tambahagung ketika kebetulan bermain ke kakeknya di Dukuh
Glinggang (sewaktu mau dikhitankan) dan dia diajak mengikuti Kegiatan pembacaan
Sholawat Burdah. Anak ini tiba-tiba merasa melihat sesosok seseorang yang
perawakannya tinggi besar dan berjubah. Orang berjubah ini dilihat mengikuti pembacaan
sholawat burdah tersebut dengan khidmat (tenang) hingga akhir acara.
f) Seorang anak kecil bernama Bagas, juga
bercerita bahwa dia melihat sosok seseorang yang menyaksikan para warga yang
sedang bekerja bakti memasang tratag di sekitar Ngaseman. Kejadian itu dilihat
ketika warga akan mengadakan kegiatan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan
Haul R. Harya Suwangsa.
g) Seorang warga Desa Sitirejo Kecamatan
Tambakromo, ketika putranya sedang menderita sakit keras, lalu dia memberinya
minum air putih dengan wasilah kepada Mbah Ndoro Sinder (R. Harya Suwangsa),
dengan ijin Allah ternyata anaknya sembuh. Dan suatu kesempatan dia pun
mengadakan kegiatan tasyakuran di pertapan R. Suwangsa (Ngaseman) Dukuh
Glinggang dan menceritakan pengalaman pribadinya itu.
h) Cerita seorang mantan Kepala Desa
Sinomwidodo, yakni Mbah Warto. Ketika dia mencapai kemenangan dalam pemilihan
kepala desa, menghadapi masalahnya yang berat, yakni demo besar-besaran dari
kelompok calon yang tidak jadi dan pendukungnya. Menghadapi masalah tersebut
salah satu usaha yang dia lakukan adalah silaturrohim meminta do’a dan nasehat
kepada para tokoh spiritual yang jumlahnya mencapai 20 orang tokoh. Dari 20
orang tokoh spiritual yang dimintai do’a dan nasehat tersebut, yang 17 orang
tokoh menyarankan untuk tetap “gondelan” (wasilah) ke Mbah Ndoro Sinder di
Ngaseman Dukuh Glinggang.
i) Pohon asem yang berada di lokasi pertapan
(Maqom Mbah Ndoro Sinder), terutama cabang yang ke mengarah ke Lor Wetan (Timur
Laut), rasa buahnya memang agar berbeda dari buah asem pada umumnya (rasanya
tidak terlalu masam, tetapi agak manis). Maka beberapa orang menamakan
Glinggang sebagai Semligi (asem legi, atau asem yang manis).
SUMBER : (KASMURI
ACHMAD, KEPALA DESA SINOMWIDODO)
Kami adalah keturunan Putra ketiga Raden Haryo Suwongso Yang Bernama Raden Haryo Singomenggolo dan dari Raden Haryo Singomenggolo Lahirlah ulama Syech Ali Syuhada yang juga menjadi Panglima Perang Pangeran Diponegoto yang setelah Pangeran Diponegoro diasingkan akhirnya Syech Ali Syuhada napak tilas ke Majaphit tapi berhenti di sebuah desa yang namanya Kayuapak di wilayah Sukoharjo dan mendiirkan pesantren yang mendapatkan hadiah masjid tiban dari Demak yg dulu diserahkan Sunan Kalijaga dan sekarang menjadi masjid Jami Kayuapak. Dan Kami keturunan Syech Ali Syuhada di soloraya. Wa 085162767276 Gus Zakky Al Kayuapaky
BalasHapus