Historiesnet

Sebuah Pencarian Sejarah

Sabtu, 20 Agustus 2016

Sejarah panjang desa Lahar, sejak era “Danyang” sampai Kemerdekaan

ilustrasi : wikipedia indonesia

Pada kisaran tahun 1800 - 1869 M, atau di pertengahan abad ke-19 di wilayah desa Lahar kecamatan Tlogowungu kabupaten Pati sudah mulai terbentuk tatanan pemerintahan lokal, namun masih terbagi atas koloni-koloni permukiman kecil yang terpisah karna wilayahnya masih didominasi oleh hutan (bhs jawa = grumbul).

Bahkan sampai akhir tahun 50 an atau masa masa belum lama setelah Indonesia merdeka di wilayah Lahar rumah masih sangat jarang, hanya ada satu dua rumah yang dihuni oleh keluarga/kerabat sendiri dan dalam radius puluhan bahkan ratusan meter baru ada rumah lagi.  Beberapa saksi sejarah yang masih hidup hingga kini yang pada waktu itu masih berusia remaja mengkonfirmasi bahwa kera, celeng, dan hewan-hewan perusak lainnya masih banyak berkeliaran bebas di sekitar rumah-rumah penduduk.   



Secara administratif wilayah Lahar, Gajah, Jasem, Krakeh, dan sekitarnya yang waktu itu masih berupa perdukuhan ada di bawah kekuasaan Kadipaten Pati, diperkirakan ada pada masa Pemerintahan Adipati Sosrodiningrat Mangunkusumo, perhitungan ini didasarkan pada arsip catatan Pemda Pati (Daftar Adipati/Bupati Pati Pertama s/d Sekarang)

Pada saat itu diperkirakan penduduk Lahar sudah banyak yang memeluk agama Islam karna dalam kisah Walisongo disebutkan Sunan Muria berdakwah di lereng gunung bagian utara timur laut Pegunungan Muria.

Bila ditarik lebih jauh lagi ke belakang, di masa-masa akhir kejayaan kerajaan Majapahit dahulu ada beberapa istilah untuk menyebut para penguasa wilayah, diantaranya ada Istilah panepuluh adalah seorang kepala desa yang mengepalai 10 kepala keluarga, penatus mengepalai 100 kepala keluarga, dan penyewu seorang kepala desa yang mengepalai 1000 kepala keluarga. Panepuluh bisa disebut Danyang jika ia adalah orang yang pertama kali “babat alas” atau dituakan di desa tersebut. (sumber : Sejarah Jawa)

ilustrasi 


Istilah Danyang juga dipakai untuk menyebut roh atau makhluk halus Penunggu suatu tempat, misalnya hutan, danau, sungai, pohon yang besar, dan objek-objek lain yang dianggap keramat. Tidak heran, karna memang kepercayaan asli penduduk Jawa Dwipa jauh sebelum ada agama-agama masuk adalah kepercayaan animisme dan dinamisme, sebuah kepercayaan yang meyakini bahwa setiap benda mati ataupun hidup memiliki “roh”.


Konon, Danyang desa Lahar yang berjuluk “Mbak Kopek” sudah mendiami Lahar sejak ratusan tahun yang lalu, diperkirakan hidup pada tahun 1300 masehi atau 700 tahun yang lalu.  Estimasi ini coba penulis singkronkan dengan sejarah Babat Pati yang menyebutkan bahwa pada awal-awal berdirinya Kadipaten Pesantenan ada seorang Patih yang terkenal yaitu Raden Singopadu.

Menurut beberapa sumber Raden Singopadu adalah adik dari Nyai Ageng Kenduruan dan Mbak Kopek, dimana Mbah Kopek adalah yang tertua dari tiga bersaudara tersebut. Diceritakan juga bahwa Nyai Ageng Kenduruan adalah salah satu guru spiritual dari Adipati Pesantenan pada masanya, ada yang menyebutkan adalah guru dari Adipati Djoyokusumo I.  Bisa disimpulkan bahwa Mbah Kopek setidaknya hidup pada 700 tahun yang lalu bila mengacu pada hari jadi kota Pati yang sekarang pada saat tulisan ini dibuat sudah sampai yang ke 693. Sekedar diketahui hari jadi Pati dihitung sejak tergabungnya tiga kadipaten kecil menjadi satu, yakni kadipaten Paranggaruda, Carangsoka, dan Majasemi pada tahun 1300 M yang lalu, bergabung menjadi Kadipaten Pati Pesantenan, dan kemudian disebut Pati saja.

Cerita rakyat yang berkembang, Mbah Kopek tidak meninggal dunia, melainkan “mukso” atau tiba-tiba lenyap menyatu dengan alam.  Sejak dikabarkan ‘mukso” Mbah Kopek masih sering menampakkan wujudnya pada situasi-situasi tertentu dan kepada orang-orang tertentu, bahkan sampai di era modern ini banyak masyarakat asli Lahar yang mengaku didatangi Danyang nya tersebut, baik lewat mimpi maupun secara langsung.

Diceritakan Mbah Kopek memiliki payudara yang panjang seperti sayur “Terong”, sehingga warga asli Lahar sejak dahulu dilarang menanam terong panjang sebagai adab atau tata krama terhadap danyang nya tersebut.

Selain larangan tersebut masih ada satu larangan lagi, yakni tidak boleh menanam kedelai, karna pada suatu hari anak Mbah Kopek yang masih kecil dan suka bermain-main didekat tungku api matanya hampir buta karna terkena percikan kedelai yang sedang dibakar di tungku (pawon). Sejak itu Mbah Kopek mengeluarkan sabdo bahwa rakyatnya sejak itu tidak boleh menanam kedelai.

Sampai saat ini masih banyak masyarakat asli kelahiran desa Lahar yang memegang mitos dan paugeran tersebut, dan kenyataannya memang tidak penah ada tanaman terong dan kedelai di desa Lahar, kecuali oleh mereka yang tidak tahu menahu soal sejarah ini.

Kembali ke masa tahun 1800 M
Dalam arsip sejarah nasional disebutkan bahwa pada tahun-tahun tersebut, tepatnya tahun 1808 di pulau Jawa sedang ada peristiwa besar, yakni proyek raksasa pembangunan jalur Pos sepanjang 1000 km yang membentang dari ujung barat pulau Jawa (Anyer) sampai ujung timur Jawa (Penarukan) atau yang sekarang kita kenal sebagai Jalur Pantura (Pantai Utara Jawa)



Proyek ambisius tersebut diprakarsai oleh Gouverneur General (Gubernur Jeneral) Hindia Belanda Heman Williem Daendels yang pada waktu itu menduduki Batavia (Jakarta) sebagai salah satu pusat niaga di pulau Jawa.  Kabarnya maha proyek tersebut sampai mengorbankan puluhan ribu nyawa manusia akibat kerja paksa tanpa upah, salah seorang sastrawan dan ahli sejarah menyebutnya sebagai Genosida Manusia Jawa.

Kadipaten Pati yang kebetulan dilalui jalur tersebut, seperti wilayah-wilayah lainnya di sepanjang pantai utara  Jawa melalui penguasa lokal (Adipati) mendapat tekanan dan ancaman dari Daendels untuk menggerakkan rakyatnya membangun jalan tersebut dengan target sekian kilometer dalam waktu yang “hanya” 1 (satu) tahun saja, bila menolak diancam akan dihancurkan dengan kekuatan militer Belanda yang pada waktu itu sudah memiliki Tank, senapan, dan meriam.

Berdirinya Lahar sebagai sebuah Desa yang lebih besar tidak terlepas dari peristiwa di atas. Semenjak jalan terpanjang di dunia (pada saat itu) beroperasi maka akses ke pelosok-pelosok desa menjadi mudah, hingga sampailah penjajah Belanda masuk di wilayah Lahar dan sekitarnya, padahal wilayah Lahar termasuk wilayah terpencil pada masa itu.

Demi kepentingan ekspansi bisnis Belanda membangun basis kekuatannya di desa Lahar. Di lokasi balai desa Lahar yang sekarang ini dahulunya berdiri sebuah Loji (Pos atau markas pejabat Belanda) yang cukup besar, bukti peninggalannya berupa batu tugu / ompak masih ada sampai sekarang yang tersisa 3 buah dan tergeletak begitu saja di sekitar balai desa karna warga enggan memindahkan karna saking beratnya.

Bekas Tugu Loji Belanda di dekat Balai Desa Laha


Pada tanggal 2 Desember 1835 di desa Suwaduk, kecamatan Wedarijaksa, bediri Pabrik Gula. Pada awalnya PG ini dimiliki H. Muller, seorang pengusaha penggilingan tebu. Setelah Tuan Muller meninggal dunia kepemilikan perusahaan diteruskan oleh Tuan P.A.O. Waveren Pancras Clifford. Pada 24 Oktober 1838 lokasi pabrik dipindahkan ke desa Trangkil. (Sumber : Sejarah Pabrik Trangkil)

Dalam perkembangannya, untuk kepentingan pengairan lahan tebu PG tersebut dibangunlah saluran irigasi dari sungai Tiris di ujung barat desa Lahar sampai ke timur jauh di sekitaran desa Pasucen dengan mempekerjakan penduduk secara paksa. Warga desa pun harus rela sawah ladangnya kering menunggu untuk diari karna tidak ada yang berani memakai air sungai bila pihak PG belum cukup mengairi lahan tebunya.

bekas kanal dan jembatan buatan belanda

Sekitar tahun 1845 M. beberapa perdukuhan (Lahar, Gajah, Jasem, Krakeh, Dopang) secara administratif melakukan merger atau bergabung menjadi sebuah desa dengan Astro Wijoyo sebagai Kepala Desa pertama.

Pada masa-masa itu sebetulnya proses pemilihan kepala desa sudah mulai diatur dengan sistem demokratis. Pemilihan dilakukan dengan sebuah sistem yang disebut “Buntut-Buntut Luwe  dengan cara para calon kepala desa berdiri di posisi masing-masing dan para warga yang menentukan pilihan harus langsung berjongkok di belakang Jago yang dipilihnya. Namun untuk masa jabatan tidak ada aturan, Kepala Desa boleh menjabat sampai kapanpun ia mau dan jabatan bisa dilimpahkan kepada keluarganya.

Astro Wijoyo memimpin kurang lebih selama 50 tahun, kemudian diteruskan oleh anak keduanya yang bernama Sanhaji karna anak pertamanya adalah perempuan (Ngasidin) sehingga tidak diberi amanat untuk memimpin.

Dalam masa Astro wijoyo ini diceritakan Dukuh Krakeh telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat. Rumah-rumah penduduk sudah berdinding papan (gebyok), dan beratam genteng, padahal di dukuh-dukuh lain masih berdindingkan anyaman bambu dan beratap welit kecuali rumah orang-orang tertentu saja.

Krakeh berniat untuk merdeka, memisahkan diri dari desa Lahar, sampai akhirnya niatan tersebut pupus karna tiba-tiba dukuh Krakeh dilanda sebuah malapetaka hebat “Pagebluk”.

Dukuh Krakeh yang pada sekarang ini menjadi sentra industri anyaman bambu “gedhek” satu persatu warganya meninggal dunia.  Dalam seminggu bisa 10 orang meninggal karna sebab yang tak jelas, sampai akhirnya banyak warga krakeh yang takut dan pergi meninggalkan kampung kelahirannya tersebut. Tidak jelas kapan wabah mengerikan yang hanya menimpa satu dukuh tersebut berakhir, yang pasti lambat laun dukuh tersebut mulai ramai kembali.

Memasuki awal tahun 1900 an desa Lahar semakin berkembang dan menjadi pusat perdagangan untuk desa-desa di sekitarnya, terbukti pada jaman itu sudah berdiri sebuah pasar yang cukup ramai yang berlokasi tepat di SDN Lahar 01 sekarang ini, sebelum akhirnya dipindahkan di lokasi yang sekarang ini.

pasar Lahar setelah dipindahkan dan dibangun


Sanhaji atau yang berjuluk Dongkol Diduk memimpin desa Lahar tidak sampai lama karna disebabkan oleh sesuatu hal, Lalu digantikan oleh adiknya Haji Juri. Haji Juri yang merupakan anak terakhir dari Astro Wijoyo dengan istri pertama yang bernama Madirah memimpin desa Lahar cukup lama, antara tahun 1920 - 1968.

Pada masa ini peraturan dan pemilihan Kades sudah mulai berkembang dengan cara yang lebih elegan yaitu dengan cara memasukkan biting (lidi) ke sebuah lumbung yang terbuat dari bambu. Setiap warga yang mempunyai hak pilih harus memasukkan bitingnya ke lumbung jagonya yang sudah diberi tanda hasil pertanian berupa padi, jagung, ketela, atau yang lainnya, kemudian di era kemerdekaan sistem pemilihan disempurnakan lagi dengan mencoblos gambar di dalam bilik atau kombong untuk menjaga kerahasiaan pemilih dan meminimalisir konflik horisontal di masyarakat.

Makam H. Juri, makam Astro Wijoyo ada di sebelahnya

Khumaidi yang merupakan anak pertama dari Haji Juri ikut dalam pemilihan dan terpilih sebagai Kades, menjabat selama 25 tahun sampai dengan tahun 1993.  Dari tahun 1993 sampai dengan tahun 1998 Kepala Desa dijabat oleh Riyanto yang merupakan adik dari Khumaidi  melalui proses pemilihan kepala Desa secara demokratis sesuai peraturan di Indonesia

Memasuki milenium 2, desa Lahar dipimpin oleh seorang Kades Muda, Supadi, S.Pd, mulai tahun 1998 sampai dengan tahun 2008,  6 tahun pertama menjabat secara konstitusi dan 4 tahun berikutnya oleh Perda Pati perpanjangan masa jabatan Kades di seluruh kabupaten Pati.

Setelah Supadi, S.Pd berhenti Kades Lahar yang berikutnya adalah H. Saru, S.Pd.I sampai dengan tahun 2014, kemudian dari tahun 2014 sampai dengan sekarang Lahar dipimpin oleh Kades muda H. Setiawan Budhiaji, SE yang juga merupakan keturunan dari Kades pertama Astro Wijoyo.

Sekian rangkaian sejarah panjang desa Lahar yang dapat saya sajikan, semoga bisa menambah wawasan untuk masyarakat Lahar khsusnya untuk para generasi muda agar dapat terus menjunjung kearifan lokal. Apabila ada kekeliruan dan kekurangan mohon pembaca yang mengetahui informasi sekecil apapun perihal sejarah tersebut berkenan memberikan koreksi, kritik dan saran demi keakuratan sejarah.

Sumber :
-          Mbah Astini (Cucu Astro Wijoyo)
-          Bapak Sutar
-          Ibu Umu Sa’adah, S.Pd.I (Istri Supadi Kades Lahar ke-6)
-          Mujamiul Kholili (Cicit Astro Wijoyo)
-          Mbak Ana Khomariah (Anak Khumaidi Kades Lahar ke -4)
-          Bapak Zaeni
-          Babat Pati
-          Babat Jawa
-          Sejarah Jawa
-          Sejarah Nasional

dan sumber lainnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar