ilustrasi : wikipedia indonesia |
Pada kisaran tahun 1800 - 1869 M, atau di pertengahan abad ke-19 di wilayah desa Lahar kecamatan Tlogowungu kabupaten Pati sudah mulai
terbentuk tatanan pemerintahan lokal, namun masih terbagi atas koloni-koloni
permukiman kecil yang terpisah karna wilayahnya masih didominasi oleh hutan (bhs
jawa = grumbul).
Bahkan sampai akhir tahun 50 an atau masa masa
belum lama setelah Indonesia merdeka di wilayah Lahar rumah masih sangat jarang,
hanya ada satu dua rumah yang dihuni oleh keluarga/kerabat sendiri dan dalam
radius puluhan bahkan ratusan meter baru ada rumah lagi. Beberapa saksi sejarah yang masih hidup hingga
kini yang pada waktu itu masih berusia remaja mengkonfirmasi bahwa kera,
celeng, dan hewan-hewan perusak lainnya masih banyak berkeliaran bebas di
sekitar rumah-rumah penduduk.
Secara administratif wilayah Lahar, Gajah, Jasem, Krakeh,
dan sekitarnya yang waktu itu masih berupa perdukuhan ada di bawah kekuasaan
Kadipaten Pati, diperkirakan ada pada masa Pemerintahan Adipati
Sosrodiningrat Mangunkusumo, perhitungan ini didasarkan pada arsip catatan Pemda Pati (Daftar Adipati/Bupati Pati Pertama s/d Sekarang)
Pada saat itu diperkirakan penduduk Lahar sudah banyak yang memeluk agama Islam karna dalam kisah Walisongo disebutkan Sunan Muria berdakwah di lereng gunung bagian utara timur laut Pegunungan Muria.
Bila ditarik lebih jauh lagi ke belakang, di masa-masa akhir kejayaan kerajaan Majapahit dahulu ada beberapa istilah untuk menyebut para penguasa wilayah, diantaranya ada Istilah panepuluh adalah seorang kepala desa yang mengepalai 10 kepala keluarga, penatus mengepalai 100 kepala keluarga, dan penyewu seorang kepala desa yang mengepalai 1000 kepala keluarga. Panepuluh bisa disebut Danyang jika ia adalah orang yang pertama kali “babat alas” atau dituakan di desa tersebut. (sumber : Sejarah Jawa)
Pada saat itu diperkirakan penduduk Lahar sudah banyak yang memeluk agama Islam karna dalam kisah Walisongo disebutkan Sunan Muria berdakwah di lereng gunung bagian utara timur laut Pegunungan Muria.
Bila ditarik lebih jauh lagi ke belakang, di masa-masa akhir kejayaan kerajaan Majapahit dahulu ada beberapa istilah untuk menyebut para penguasa wilayah, diantaranya ada Istilah panepuluh adalah seorang kepala desa yang mengepalai 10 kepala keluarga, penatus mengepalai 100 kepala keluarga, dan penyewu seorang kepala desa yang mengepalai 1000 kepala keluarga. Panepuluh bisa disebut Danyang jika ia adalah orang yang pertama kali “babat alas” atau dituakan di desa tersebut. (sumber : Sejarah Jawa)
ilustrasi |
Istilah Danyang juga dipakai untuk menyebut roh atau makhluk halus Penunggu suatu tempat, misalnya hutan, danau, sungai, pohon yang besar, dan objek-objek lain yang dianggap keramat. Tidak heran, karna memang kepercayaan asli penduduk Jawa Dwipa jauh sebelum ada agama-agama masuk adalah kepercayaan animisme dan dinamisme, sebuah kepercayaan yang meyakini bahwa setiap benda mati ataupun hidup memiliki “roh”.
Konon, Danyang desa Lahar yang berjuluk “Mbak Kopek”
sudah mendiami Lahar sejak ratusan tahun yang lalu, diperkirakan hidup pada
tahun 1300 masehi atau 700 tahun yang lalu. Estimasi ini coba penulis singkronkan dengan
sejarah Babat Pati yang menyebutkan bahwa pada awal-awal berdirinya
Kadipaten Pesantenan ada seorang Patih yang terkenal yaitu Raden Singopadu.
Menurut beberapa sumber Raden Singopadu adalah adik dari
Nyai Ageng Kenduruan dan Mbak Kopek, dimana Mbah Kopek adalah yang tertua dari
tiga bersaudara tersebut. Diceritakan juga bahwa Nyai Ageng Kenduruan adalah
salah satu guru spiritual dari Adipati Pesantenan pada masanya, ada yang
menyebutkan adalah guru dari Adipati Djoyokusumo I. Bisa disimpulkan bahwa Mbah Kopek setidaknya
hidup pada 700 tahun yang lalu bila mengacu pada hari jadi kota Pati yang
sekarang pada saat tulisan ini dibuat sudah sampai yang ke 693. Sekedar
diketahui hari jadi Pati dihitung sejak tergabungnya tiga kadipaten kecil
menjadi satu, yakni kadipaten Paranggaruda, Carangsoka, dan Majasemi pada tahun
1300 M yang lalu, bergabung menjadi Kadipaten Pati Pesantenan, dan
kemudian disebut Pati saja.
Cerita rakyat yang berkembang, Mbah Kopek tidak
meninggal dunia, melainkan “mukso” atau tiba-tiba lenyap menyatu dengan
alam. Sejak dikabarkan ‘mukso” Mbah
Kopek masih sering menampakkan wujudnya pada situasi-situasi tertentu dan
kepada orang-orang tertentu, bahkan sampai di era modern ini banyak masyarakat
asli Lahar yang mengaku didatangi Danyang nya tersebut, baik lewat mimpi maupun
secara langsung.
Diceritakan Mbah Kopek memiliki payudara yang
panjang seperti sayur “Terong”, sehingga warga asli Lahar sejak dahulu dilarang
menanam terong panjang sebagai adab atau tata krama terhadap danyang nya
tersebut.
Selain larangan tersebut masih ada satu larangan lagi,
yakni tidak boleh menanam kedelai, karna pada suatu hari anak Mbah Kopek
yang masih kecil dan suka bermain-main didekat tungku api matanya hampir buta
karna terkena percikan kedelai yang sedang dibakar di tungku (pawon). Sejak itu
Mbah Kopek mengeluarkan sabdo bahwa rakyatnya sejak itu tidak
boleh menanam kedelai.
Sampai saat ini masih banyak masyarakat asli kelahiran
desa Lahar yang memegang mitos dan paugeran tersebut, dan kenyataannya memang
tidak penah ada tanaman terong dan kedelai di desa Lahar, kecuali oleh mereka
yang tidak tahu menahu soal sejarah ini.
Kembali ke masa tahun 1800 M
Dalam arsip sejarah nasional disebutkan bahwa pada
tahun-tahun tersebut, tepatnya tahun 1808 di pulau Jawa sedang ada peristiwa
besar, yakni proyek raksasa pembangunan jalur Pos sepanjang 1000 km yang
membentang dari ujung barat pulau Jawa (Anyer) sampai ujung timur Jawa
(Penarukan) atau yang sekarang kita kenal sebagai Jalur Pantura (Pantai Utara
Jawa)
Proyek ambisius
tersebut diprakarsai oleh Gouverneur General (Gubernur Jeneral) Hindia Belanda
Heman Williem Daendels yang pada waktu itu menduduki Batavia (Jakarta) sebagai
salah satu pusat niaga di pulau Jawa. Kabarnya maha proyek tersebut
sampai mengorbankan puluhan ribu nyawa manusia akibat kerja paksa tanpa
upah, salah seorang sastrawan dan ahli sejarah menyebutnya sebagai Genosida Manusia
Jawa.
Kadipaten Pati yang kebetulan dilalui jalur
tersebut, seperti wilayah-wilayah lainnya di sepanjang pantai utara Jawa melalui penguasa lokal (Adipati)
mendapat tekanan dan ancaman dari Daendels untuk menggerakkan rakyatnya
membangun jalan tersebut dengan target sekian kilometer dalam waktu yang
“hanya” 1 (satu) tahun saja, bila menolak diancam akan dihancurkan
dengan kekuatan militer Belanda yang pada waktu itu sudah memiliki Tank,
senapan, dan meriam.
Berdirinya Lahar
sebagai sebuah Desa yang lebih besar tidak terlepas dari peristiwa di atas.
Semenjak jalan terpanjang di dunia (pada saat itu) beroperasi maka akses ke
pelosok-pelosok desa menjadi mudah, hingga sampailah penjajah Belanda masuk di
wilayah Lahar dan sekitarnya, padahal wilayah Lahar termasuk wilayah terpencil
pada masa itu.
Demi kepentingan
ekspansi bisnis Belanda membangun basis kekuatannya di desa Lahar. Di lokasi
balai desa Lahar yang sekarang ini dahulunya berdiri sebuah Loji (Pos atau
markas pejabat Belanda) yang cukup besar, bukti peninggalannya berupa batu tugu
/ ompak masih ada sampai sekarang yang tersisa 3 buah dan tergeletak begitu
saja di sekitar balai desa karna warga enggan memindahkan karna saking beratnya.
Bekas Tugu Loji Belanda di dekat Balai Desa Laha |
Pada tanggal 2 Desember 1835 di desa Suwaduk, kecamatan Wedarijaksa,
bediri Pabrik Gula. Pada awalnya PG ini dimiliki H. Muller, seorang pengusaha
penggilingan tebu. Setelah Tuan Muller meninggal dunia kepemilikan perusahaan
diteruskan oleh Tuan P.A.O. Waveren Pancras Clifford. Pada 24 Oktober 1838
lokasi pabrik dipindahkan ke desa Trangkil. (Sumber : Sejarah Pabrik
Trangkil)
Dalam
perkembangannya, untuk kepentingan pengairan lahan tebu PG tersebut dibangunlah
saluran irigasi dari sungai Tiris di ujung barat desa Lahar sampai ke timur
jauh di sekitaran desa Pasucen dengan mempekerjakan penduduk secara paksa. Warga
desa pun harus rela sawah ladangnya kering menunggu untuk diari karna tidak ada
yang berani memakai air sungai bila pihak PG belum cukup mengairi lahan
tebunya.
bekas kanal dan jembatan buatan belanda |
Sekitar tahun
1845 M. beberapa perdukuhan (Lahar, Gajah, Jasem, Krakeh, Dopang) secara
administratif melakukan merger atau bergabung menjadi sebuah desa dengan Astro
Wijoyo sebagai Kepala Desa pertama.
Pada masa-masa
itu sebetulnya proses pemilihan kepala desa sudah mulai diatur dengan sistem
demokratis. Pemilihan dilakukan dengan sebuah sistem yang disebut “Buntut-Buntut
Luwe” dengan cara para calon
kepala desa berdiri di posisi masing-masing dan para warga yang menentukan
pilihan harus langsung berjongkok di belakang Jago yang dipilihnya. Namun untuk
masa jabatan tidak ada aturan, Kepala Desa boleh menjabat sampai kapanpun ia
mau dan jabatan bisa dilimpahkan kepada keluarganya.
Astro Wijoyo
memimpin kurang lebih selama 50 tahun, kemudian diteruskan oleh anak keduanya
yang bernama Sanhaji karna anak pertamanya adalah perempuan (Ngasidin)
sehingga tidak diberi amanat untuk memimpin.
Dalam masa Astro
wijoyo ini diceritakan Dukuh Krakeh telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang
sangat pesat. Rumah-rumah penduduk sudah berdinding papan (gebyok), dan beratam
genteng, padahal di dukuh-dukuh lain masih berdindingkan anyaman bambu dan
beratap welit kecuali rumah orang-orang tertentu saja.
Krakeh berniat
untuk merdeka, memisahkan diri dari desa Lahar, sampai akhirnya niatan tersebut
pupus karna tiba-tiba dukuh Krakeh dilanda sebuah malapetaka hebat “Pagebluk”.
Dukuh Krakeh yang
pada sekarang ini menjadi sentra industri anyaman bambu “gedhek” satu persatu
warganya meninggal dunia. Dalam seminggu
bisa 10 orang meninggal karna sebab yang tak jelas, sampai akhirnya banyak warga
krakeh yang takut dan pergi meninggalkan kampung kelahirannya tersebut. Tidak jelas
kapan wabah mengerikan yang hanya menimpa satu dukuh tersebut berakhir, yang
pasti lambat laun dukuh tersebut mulai ramai kembali.
Memasuki awal
tahun 1900 an desa Lahar semakin berkembang dan menjadi pusat perdagangan untuk
desa-desa di sekitarnya, terbukti pada jaman itu sudah berdiri sebuah pasar
yang cukup ramai yang berlokasi tepat di SDN Lahar 01 sekarang ini,
sebelum akhirnya dipindahkan di lokasi yang sekarang ini.
pasar Lahar setelah dipindahkan dan dibangun |
Sanhaji atau
yang berjuluk Dongkol Diduk memimpin desa Lahar tidak sampai lama karna
disebabkan oleh sesuatu hal, Lalu digantikan oleh adiknya Haji Juri.
Haji Juri yang merupakan anak terakhir dari Astro Wijoyo dengan istri
pertama yang bernama Madirah memimpin desa Lahar cukup lama, antara
tahun 1920 - 1968.
Pada masa ini peraturan
dan pemilihan Kades sudah mulai berkembang dengan cara yang lebih elegan yaitu
dengan cara memasukkan biting (lidi) ke sebuah lumbung yang
terbuat dari bambu. Setiap warga yang mempunyai hak pilih harus memasukkan
bitingnya ke lumbung jagonya yang sudah diberi tanda hasil pertanian berupa
padi, jagung, ketela, atau yang lainnya, kemudian di era kemerdekaan sistem
pemilihan disempurnakan lagi dengan mencoblos gambar di dalam bilik atau
kombong untuk menjaga kerahasiaan pemilih dan meminimalisir konflik horisontal
di masyarakat.
Makam H. Juri, makam Astro Wijoyo ada di sebelahnya |
Khumaidi
yang merupakan anak pertama dari Haji Juri ikut dalam pemilihan dan terpilih
sebagai Kades, menjabat selama 25 tahun sampai dengan tahun 1993. Dari tahun 1993 sampai dengan tahun 1998
Kepala Desa dijabat oleh Riyanto yang merupakan adik dari Khumaidi melalui proses pemilihan kepala Desa secara
demokratis sesuai peraturan di Indonesia
Memasuki milenium
2, desa Lahar dipimpin oleh seorang Kades Muda, Supadi, S.Pd, mulai tahun 1998
sampai dengan tahun 2008, 6 tahun
pertama menjabat secara konstitusi dan 4 tahun berikutnya oleh Perda Pati
perpanjangan masa jabatan Kades di seluruh kabupaten Pati.
Setelah Supadi,
S.Pd berhenti Kades Lahar yang berikutnya adalah H. Saru, S.Pd.I sampai dengan
tahun 2014, kemudian dari tahun 2014 sampai dengan sekarang Lahar dipimpin oleh
Kades muda H. Setiawan Budhiaji, SE yang juga merupakan keturunan dari Kades
pertama Astro Wijoyo.
Sekian rangkaian
sejarah panjang desa Lahar yang dapat saya sajikan, semoga bisa menambah
wawasan untuk masyarakat Lahar khsusnya untuk para generasi muda agar dapat
terus menjunjung kearifan lokal. Apabila ada kekeliruan dan kekurangan mohon
pembaca yang mengetahui informasi sekecil apapun perihal sejarah tersebut berkenan
memberikan koreksi, kritik dan saran demi keakuratan sejarah.
Sumber :
-
Mbah Astini (Cucu Astro Wijoyo)
-
Bapak Sutar
-
Ibu Umu Sa’adah, S.Pd.I (Istri
Supadi Kades Lahar ke-6)
-
Mujamiul Kholili (Cicit Astro
Wijoyo)
-
Mbak Ana Khomariah (Anak Khumaidi
Kades Lahar ke -4)
-
Bapak Zaeni
-
Babat Pati
-
Babat Jawa
-
Sejarah Jawa
-
Sejarah Nasional
dan sumber lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar