![]() |
ilustrasi : duniaklenikdotcom |
Setiap bulan
Asyura (versi jawa = Suro) masyarakat Desa Gunungsari Kec. Tlogowungu Kab. Pati
selalu mengadakan peringatan haul untuk seorang tokoh yang diyakini oleh
masyarakat setempat sebagai penyebar agama Islam di wilayah tersebut.
Setiap tahun
acara peringatan tampak semakin meriah, layaknya di daerah-daerah lain yang dalam
dua dekade ini mulai mencontoh peringatan haul tokoh besar seperti Syekh Ahmad
Mutammakin Kajen Margoyoso Pati.
Acara semacam
itu ternyata cukup efektif dijadikan sebagai momentum untuk mempersatukan dan
mempererat kekompakan di kalangan masyarakat desa. Namun di luar semua itu
ternyata tidak banyak di antara masyarakat yang tahu menahu soal sejarah hidup
tokoh yang saben tahun diperingati haulnya tersebut. Kebanyakan hanya meyakini sepenggal dua
penggal kisah yang diceritakan dari mulut ke mulut.
Tulisan ini
dibuat untuk membuka sejarah hidup Mbah Cono, sehingga diharapkan masyarakat
desa Gunungsari khususnya dan masyarakat Pati pada umumnya dapat mengetahui
gambaran sejarah Mbah Cono walau keakuratan sejarah ini masih perlu untuk
dikroscek dan lagi.
Mbah Cono, atau
yang memiliki julukan panjang Ki Rekso Kidam Kencono hidup pada sekitar tahun 1820 s/d 1885 M. atau
pada masa pemerintahan Bupati Pati Raden Bagus Mita bergelar Kanjeng
Pangeran Ario Tjondro Adinegoro.
Julukan Kidam
Kencono sendiri disandang karna pendekar muda itu memiliki kemampuan berlari
yang luar biasa cepat dan lincah seperti seekor kijang atau kidam. Sedangkan
idiom kata kencono di kalangan masyarakat jawa biasa dipakai
untuk menyebut sesuatu apapun yang ada hubungannya dengan hal-hal mistis atau
ghaib, misalnya : Golek Kencono, Kereta Kencono.
Dari sebutan
Kidam Kencono itulah kemudian ia dikenal dengan sebutan Cono atau Mbah Cono
saja.
Mengenai perkiraan
tahun kehidupan Kidam Kencono di atas bisa dikatakan 90 % valid karna dalam
cerita Kidam Kencono disebutkan beliau ikut dalam pergerakan melawan penjajah
Belanda, dan cerita yang paling mashur di masyarakat Mbah Cono atau Kidam
Kencono terlibat dalam “Tragedi Pabrik Gula” Trangkil, dimana PG
Trangkil sendiri memiliki sejarah tertulis yang jelas dan terarsipkan.
Sekedar diketahui, PG Trangkil berdiri lebih dulu
dibanding PG Kebon Agung. PG ini didirikan pada 2 Desember 1835 di desa
Suwaduk, kecamatan Wedarijaksa, kabupaten Pati. Pada awalnya PG ini dimiliki H.
Muller, seorang pengusaha penggilingan tebu. Setelah Tuan Muller meninggal
dunia kepemilikan perusahaan diteruskan oleh Tuan P.A.O. Waveren Pancras
Clifford. Pada 24 Oktober 1838 lokasi pabrik dipindahkan ke desa Trangkil,
kecamatan Wedarijaksa, dengan kapasitas giling sebesar 3.000 kth atau 300 tth.
Lokasi PG di desa Trangkil tersebut kini menjadi bagian kecamatan Trangkil. (sumber
: sejarah PG Trangkil)
“Tragedi Pabrik
Gula” tersebut bermula dari ditangkapnya kakak ipar Kidam Kencono oleh tentara
Belanda ketika sedang mencari kayu di sekitar Pabrik Gula selepas belanja di
Pasar Trangkil. Karna dicurigai sebagai musuh yang membahayakan maka istri dari
Dandang Manis (kakak Kidam Kencono) itu ditahan dan disekap di dalam
pabrik dengan tuduhan hendak mencuri tebu.
Setelah
dibebaskan dan pulang sampai rumah, istri Dandang Manis menceritakan apa yang
dialaminya, bahwa ia tidak pulang selama hampir satu hari karna disekap oleh
Belanda di dalam Pabrik.
Mendengar cerita
istrinya tersebut, Dandang Manis yang tinggal di Dukuh Jugo (sekarang
desa Tlogosari) tersebut marah besar dan menyuruh anaknya yang bernama Sotruno
pergi ke dukuh Brito tempat tinggal Kidam Kencono pada waktu itu
untuk meminta bantuan menyerang tentara Belanda di PG.
Setelah menyusun siasat, dua kakak beradik tersebut akhirnya berangkat ke Trangkil dengan membawa satu dondang (peti) senjata untuk menyerang. Dengan kemampuan bela diri Dandang Manis dan Kidam Kencono yang luar biasa, mereka berdua sanggup membunuh semua tentara Belanda di PG yang berjumlah ratusan.
Dandang Manis
dan Kidam Kencono pergi dari Pabrik dengan kemenangan, namun tiada disangka
masih ada seorang tentara wanita Belanda yang masih bertahan hidup meski dengan
luka koyak menganga di perutnya dan berusaha mengejar mereka namun akhirnya
tewas terkapar dengan sendirinya ketika sampai di desa Suwaduk. Tempat matinya wanita
Belanda tersebut sekarang digunakan untuk pemakaman umum desa Suwaduk bernama
“kuburan jengkeng”
Semenjak
kejadian tersebut Dandang Manis dan Kidam Kencono berbagi tugas. Dandang Manis
mengamankan wilayah timur bila suatu saat ada Belanda yang menyerang, sementara
adiknya Kidam Kencono mengamankan wilayah barat.
Suatu hari
tentara Belanda mengetahui tempat persembunyian Kidam Kencono di dukuh Brito
kemudian merencanakan untuk melakukan penyergapan secara mendadak. Waktu itu Kidam Kencono tengah sibuk meraut
kayu untuk membuat perabot rumah. Mendapati dirinya sudah dikepung oleh Belanda
dengan senjata lengkap Kidam Kencono sepontan meraup “TATAL“ (potongan
kayu kecil-kecil sisa pertukangan) dan melemparkannya ke langit.
Konon, dengan
kesaktian yang dimiliki oleh Kidam Kencono potongan-potongan “tatal” yang
dilemparkannya itu menyebabkan sebuah ilusi, dan oleh pasukan Belanda “tatal”
itu dilihat berubah menjadi batu. Karna hujan batu tersebut tentara Belanda
lari tunggang langgang dan tidak pernah berani datang lagi.
Akhir
Hayat
Sebutan Mbah
Cono sebetulnya kurang pas, karna Kidam Kencono meninggal dalam usia yang masih
muda, meninggal pada usia antara 30 sampai 40 tahun dan tidak memiliki seorang
pun ahli waris karna beliau menikahi seorang janda muda anak satu, dan Kidam
Kencono sudah lebih dahulu meninggal sebelum berketurunan.
Diceritakan Cono
meninggal ketika sedang mengejar burung peliharaanya yang terlepas dari
kandang. Karna tidak kunjung pulang setelah
lama mencari akhirnya istri Cono meminta bantuan kakak iparnya Dandang Manis
untuk ikut mencari.
Setelah mencari
ke segala penjuru akhirnya mereka mendapati Cono tertelan bumi separuh badannya
dengan burung kesayangannya bertengger di dahan pohon tepat di atasnya.
Mendapati
adiknya tertelan lumpur hidup dan dalam kondisi yang sangat lemas dan hampir
mati Dandang Manis yang masih sempat bercakap dengan adiknya tersebut meminta
Cono melepaskan sabuk pusaka yang dikenakannya sebagai kenangan.
![]() |
ilustrasi |
“ Mungkin sudah
kehendak Tuhan memanggilmu dengan cara seperti ini, Bumi sudah meminta kembali tubuhmu
” tak mungkin lagi engkau aku selamatkan adikku ” kata Dandang Manis untuk yang
terakhir kalinya kepada adik kandungnya tersebut.
Cono meninggal
dan terkubur seketika itu di tempat tersebut, dan sampai sekarang tempat itu
dijadikan makam dari sang Kidang Kencono yang melegenda di wilayahnya pada masa
itu.
Sementara itu,
sang kakak Dandang Manis meninggal dalam usia tua dan memiliki banyak keturunan
yang silsilahnya masih terang sampai sekarang. Sebelum meninggal Dandang Manis
meminta anaknya untuk memotong rambutnya yang panjang karna tidak pernah
mencukur rambut selama puluhan tahun semenjak ia muda.
Makam Dandang
Manis ada di dua tempat, di makam umum sebagai kamuflase untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada jasadnya. Sementara makam yang asli sekarang
posisinya ada di dalam rumah salah satu cicit keturunannya. Konon di sekitar makam Dandang Manis yang asli
bila ditanami tumbuhan buahnya terasa manis meski masih berupa pentil (bakal
buah yang masih kecil) sekalipun.
Sumber :
Mbah Shodiq (Keturunan Dandang Manis)
H. Affandi (Keturunan Dandang Manis)
Kang Kholili (Keturunan Dandang Manis)
Sumber :
Mbah Shodiq (Keturunan Dandang Manis)
H. Affandi (Keturunan Dandang Manis)
Kang Kholili (Keturunan Dandang Manis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar