Historiesnet

Sebuah Pencarian Sejarah

Rabu, 14 September 2016

Sejarah Hidup Mbah Cono

ilustrasi : duniaklenikdotcom

Setiap bulan Asyura (versi jawa = Suro) masyarakat Desa Gunungsari Kec. Tlogowungu Kab. Pati selalu mengadakan peringatan haul untuk seorang tokoh yang diyakini oleh masyarakat setempat sebagai penyebar agama Islam di wilayah tersebut.

Setiap tahun acara peringatan tampak semakin meriah, layaknya di daerah-daerah lain yang dalam dua dekade ini mulai mencontoh peringatan haul tokoh besar seperti Syekh Ahmad Mutammakin Kajen Margoyoso Pati.

Acara semacam itu ternyata cukup efektif dijadikan sebagai momentum untuk mempersatukan dan mempererat kekompakan di kalangan masyarakat desa. Namun di luar semua itu ternyata tidak banyak di antara masyarakat yang tahu menahu soal sejarah hidup tokoh yang saben tahun diperingati haulnya tersebut.  Kebanyakan hanya meyakini sepenggal dua penggal kisah yang diceritakan dari mulut ke mulut.

Tulisan ini dibuat untuk membuka sejarah hidup Mbah Cono, sehingga diharapkan masyarakat desa Gunungsari khususnya dan masyarakat Pati pada umumnya dapat mengetahui gambaran sejarah Mbah Cono walau keakuratan sejarah ini masih perlu untuk dikroscek dan lagi.


Mbah Cono, atau yang memiliki julukan panjang Ki Rekso Kidam Kencono  hidup pada sekitar tahun 1820 s/d 1885 M. atau pada masa pemerintahan Bupati Pati Raden Bagus Mita bergelar Kanjeng Pangeran Ario Tjondro Adinegoro.

Julukan Kidam Kencono sendiri disandang karna pendekar muda itu memiliki kemampuan berlari yang luar biasa cepat dan lincah seperti seekor kijang atau kidam. Sedangkan idiom kata kencono di kalangan masyarakat jawa biasa dipakai untuk menyebut sesuatu apapun yang ada hubungannya dengan hal-hal mistis atau ghaib, misalnya : Golek Kencono, Kereta Kencono.
Dari sebutan Kidam Kencono itulah kemudian ia dikenal dengan sebutan Cono atau Mbah Cono saja. 

Mengenai perkiraan tahun kehidupan Kidam Kencono di atas bisa dikatakan 90 % valid karna dalam cerita Kidam Kencono disebutkan beliau ikut dalam pergerakan melawan penjajah Belanda, dan cerita yang paling mashur di masyarakat Mbah Cono atau Kidam Kencono terlibat dalam “Tragedi Pabrik Gula” Trangkil, dimana PG Trangkil sendiri memiliki sejarah tertulis yang jelas dan terarsipkan.

Sekedar diketahui, PG Trangkil berdiri lebih dulu dibanding PG Kebon Agung. PG ini didirikan pada 2 Desember 1835 di desa Suwaduk, kecamatan Wedarijaksa, kabupaten Pati. Pada awalnya PG ini dimiliki H. Muller, seorang pengusaha penggilingan tebu. Setelah Tuan Muller meninggal dunia kepemilikan perusahaan diteruskan oleh Tuan P.A.O. Waveren Pancras Clifford. Pada 24 Oktober 1838 lokasi pabrik dipindahkan ke desa Trangkil, kecamatan Wedarijaksa, dengan kapasitas giling sebesar 3.000 kth atau 300 tth. Lokasi PG di desa Trangkil tersebut kini menjadi bagian kecamatan Trangkil. (sumber : sejarah PG Trangkil)

“Tragedi Pabrik Gula” tersebut bermula dari ditangkapnya kakak ipar Kidam Kencono oleh tentara Belanda ketika sedang mencari kayu di sekitar Pabrik Gula selepas belanja di Pasar Trangkil. Karna dicurigai sebagai musuh yang membahayakan maka istri dari Dandang Manis (kakak Kidam Kencono) itu ditahan dan disekap di dalam pabrik dengan tuduhan hendak mencuri tebu.

Setelah dibebaskan dan pulang sampai rumah, istri Dandang Manis menceritakan apa yang dialaminya, bahwa ia tidak pulang selama hampir satu hari karna disekap oleh Belanda di dalam Pabrik.

Mendengar cerita istrinya tersebut, Dandang Manis yang tinggal di Dukuh Jugo (sekarang desa Tlogosari) tersebut marah besar dan menyuruh anaknya yang bernama Sotruno pergi ke dukuh Brito tempat tinggal Kidam Kencono pada waktu itu untuk meminta bantuan menyerang tentara Belanda di PG.


Setelah menyusun siasat, dua kakak beradik tersebut akhirnya berangkat ke Trangkil dengan membawa satu dondang (peti) senjata untuk menyerang. Dengan kemampuan bela diri Dandang Manis dan Kidam Kencono yang luar biasa, mereka berdua sanggup membunuh semua tentara Belanda di PG yang berjumlah ratusan.

Dandang Manis dan Kidam Kencono pergi dari Pabrik dengan kemenangan, namun tiada disangka masih ada seorang tentara wanita Belanda yang masih bertahan hidup meski dengan luka koyak menganga di perutnya dan berusaha mengejar mereka namun akhirnya tewas terkapar dengan sendirinya ketika sampai di desa Suwaduk. Tempat matinya wanita Belanda tersebut sekarang digunakan untuk pemakaman umum desa Suwaduk bernama “kuburan jengkeng”

Semenjak kejadian tersebut Dandang Manis dan Kidam Kencono berbagi tugas. Dandang Manis mengamankan wilayah timur bila suatu saat ada Belanda yang menyerang, sementara adiknya Kidam Kencono mengamankan wilayah barat.

Suatu hari tentara Belanda mengetahui tempat persembunyian Kidam Kencono di dukuh Brito kemudian merencanakan untuk melakukan penyergapan secara mendadak.  Waktu itu Kidam Kencono tengah sibuk meraut kayu untuk membuat perabot rumah. Mendapati dirinya sudah dikepung oleh Belanda dengan senjata lengkap Kidam Kencono sepontan meraup “TATAL“ (potongan kayu kecil-kecil sisa pertukangan) dan melemparkannya ke langit.    

Konon, dengan kesaktian yang dimiliki oleh Kidam Kencono potongan-potongan “tatal” yang dilemparkannya itu menyebabkan sebuah ilusi, dan oleh pasukan Belanda “tatal” itu dilihat berubah menjadi batu. Karna hujan batu tersebut tentara Belanda lari tunggang langgang dan tidak pernah berani datang lagi.

Akhir Hayat
Sebutan Mbah Cono sebetulnya kurang pas, karna Kidam Kencono meninggal dalam usia yang masih muda, meninggal pada usia antara 30 sampai 40 tahun dan tidak memiliki seorang pun ahli waris karna beliau menikahi seorang janda muda anak satu, dan Kidam Kencono sudah lebih dahulu meninggal sebelum berketurunan.

Diceritakan Cono meninggal ketika sedang mengejar burung peliharaanya yang terlepas dari kandang.  Karna tidak kunjung pulang setelah lama mencari akhirnya istri Cono meminta bantuan kakak iparnya Dandang Manis untuk ikut mencari.

Setelah mencari ke segala penjuru akhirnya mereka mendapati Cono tertelan bumi separuh badannya dengan burung kesayangannya bertengger di dahan pohon tepat di atasnya.

Mendapati adiknya tertelan lumpur hidup dan dalam kondisi yang sangat lemas dan hampir mati Dandang Manis yang masih sempat bercakap dengan adiknya tersebut meminta Cono melepaskan sabuk pusaka yang dikenakannya sebagai kenangan.

ilustrasi

“ Mungkin sudah kehendak Tuhan memanggilmu dengan cara seperti ini, Bumi sudah meminta kembali tubuhmu ” tak mungkin lagi engkau aku selamatkan adikku ” kata Dandang Manis untuk yang terakhir kalinya kepada adik kandungnya tersebut.

Cono meninggal dan terkubur seketika itu di tempat tersebut, dan sampai sekarang tempat itu dijadikan makam dari sang Kidang Kencono yang melegenda di wilayahnya pada masa itu. 

Sementara itu, sang kakak Dandang Manis meninggal dalam usia tua dan memiliki banyak keturunan yang silsilahnya masih terang sampai sekarang. Sebelum meninggal Dandang Manis meminta anaknya untuk memotong rambutnya yang panjang karna tidak pernah mencukur rambut selama puluhan tahun semenjak ia muda.

Makam Dandang Manis ada di dua tempat, di makam umum sebagai kamuflase untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada jasadnya. Sementara makam yang asli sekarang posisinya ada di dalam rumah salah satu cicit keturunannya.  Konon di sekitar makam Dandang Manis yang asli bila ditanami tumbuhan buahnya terasa manis meski masih berupa pentil (bakal buah yang masih kecil) sekalipun.

Sumber :
Mbah Shodiq (Keturunan Dandang Manis)
H. Affandi (Keturunan Dandang Manis)
Kang Kholili (Keturunan Dandang Manis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar